Muallif Wahidiyah mendawuhkan bahwa di dalam Wahidiyah tidak ada istilah Guru dan murid, itu tawadlu’ Beliau untuk memberikan pelajaran kepada kita para Pengamal Wahidiyah agar selalu tadzallul merendah diri, jangan sebaliknya!
Guru yang kamil mukammil adalah yang bisa membuka hati muridnya dan mengantarkan wushul sadar kepada Allah walaupun dari tempat yang jauh. Kita yakin, atas dasar kenyataan bahwa Muallif Wahidiyah, Ra akan mampu membangunkan murid yang masih tidur sekali pun si Pengamal Wahidiyah berada di tempat yang jauh dan belum pernah mengenal pribadi Beliau secara lahiriyah.
Muallif Wahidiyah telah mampu mengeluarkan pengamal Wahidiyah dari hutan belukarnya nafsu dari tempat yang jauh. Beliau telah mampu menjebol/ membuldoser ananiyahnya pengamal Wahidiyah dari jarak jauh. Bahkan Beliau Ra. Telah merombak mental masyarakat yang kufrun n’am (mengkufuri ni’mat) menjadi syukrun n’am (mensyukuri ni’mat).
Mengendalikan dan mengerem kebobrokan mental masyarakat. Lebih dari itu, Beliau Ra telah memperbaiki, mengangkat dan mengarahkan kondisi sosial ekopomi masyarakat terutama di kalangan masyarakat Pengamal Wahidiyah yang mengalami bermacam-macam kesulitan hidup. Dan lain-lain kemampuan dan kebesaran yang dimiliki oleh Beliau Muallif Sholawat Wahidiyah, Ra yang sulit diutarakan dengan susunan kata yang pas.
Jangankan menjadi guru, menjadi murid saja saya belum memenuhi syarot
Kalau Hadlrotul Mukarrom Romo Yahi Muallif Sholawat Wahidiyah, Ra. pernah berkata : “jangankan menjadi guru, menjadi murid saja saya belum memenuhi syarot”, ini memberi pelajaran kepada kita betapa beratnya syarat-syarat menjadi murid yang benar. Antara lain harus menyerah bongkokan kepada Gurunya.
Artinya : “Seorang murid terhadap Guru harus seperti mayit di bawah kedua tangan orang yang memandikannya”.
Ini pengertiannya luas sekali, termasuk menyerah sam’an wa tho’atan wa ta’dhiman wa mahabbatanmenerima dan menjalankan apa saja yang telah dibimbingkan dan digariskan oleh Guru. Di dalam Wahidiyah, kita harus Sam’an wa tho’atan dan konsekwen menjalankan apa saja yang telah dibimbingkan dan ditentukan oleh Muallif Sholawat Wahidiyah. Yaitu Sholawat Wahidiyah, ajaran Wahidiyah, dan kelembagaan PSW yang dibentuk sendiri oleh Muallif yang ditugasi untuk mengatur kebijaksanaan dan sekaligus memimpin pelaksanaan di bidang pengamalan, penyiaran, pembinaan, pendidikan Wahidiyah, dan sarana lain yang dibutuhkan di dalam Perjuangan Wahidiyah.
Barang siapa yang mengubah, menambah, mengurangi atau tidak mengindahkan ketentuan tersebut, lebih-lebih menyimpang atau mengingkari, maka terjerumuslah ia ke dalam “Su-ul Adab” dan termasuk “Uquuqul-ustadz” melukai Guru. Padahal ada dawuh dari Masyayikhis Shufiyah :
Artinya : “Melukai Guru itu tidak bisa ditaubati) (Jaml’ulUshul, 105)”.
Syekh Abu Sahal As-Shu’luuki berkata:
Artinya : “Barang siapa yang berkata kepada Gurunya “mengapa ?”, dia tidak akan bahagia).”
Nabi Musa berguru kepada Nabi Khidir
Dalam Jami’al Ushul fil-Auliyaa, dikatakan:
Artinya : “Dan adapun mengenai hal yang menjaga penghormatan dan pemuliaan kepada Guru serta menghindari penyimpangan kepada Guru, maka Allah Ta’aala berflrman di dalam kisah Nabi Musa dengan Nabi Khodir ‘alaihimas-salam: “HAL ATTABTUKA” , apakah aku boleh mengikutimu ? (kata Nabi Musa kepada Nabi Khodir ketika akan berguru), itu setengah dari pada menjaga syarat adab, maka pertama-tama minta izin. Kemudian Nabi Khodlir memberikan syarat agar Nabi Musa tidak berpaling dari padanya. Yaitu dalam katanya : “Fa-in taba’tanii falaa tas-alnii ‘an syai-in” “jika anda ingin mengikuti dan berguru kepadaku maka jangan sekali-kali menanyakan kepadaku tentang sesuatu”
Maka ketika Nabi Musa bersikap menyalahi satu dua kali, masih dimaafkan dan masih bisa terus mengikuti. Tetapi setelah menyalahi yang ketiga kalinya, dan tiga itu merupakan ukuran ban yak yang terkecil, maka dihukumlah Nabi Musa dengan: “Hadzaa firooqu bainii wa bainika” inilah saatnya putus hubungan antara aku dan Anda”
Dalam kitab Al-lbriz, hal. 237 dikatakan:
Artinya : “Seorang murid yang sudah masuk dalam bimbingan seorang Syekh Suhbah tetapi dia masa memandang bahwa di alam wujud (dunia) ini ada guru wushul lagi yang lebih memenuhl syarat dan lebih sempurna dari pada gurunya, dan ia tetap merindukan bimbingan darinya dalam i’tikadnya, kemudian kejadian ini diketahui oleh syekhnya sekalipun ia sudah wafat, maka seketika itu pula putuslah hubungan tarbiyyah dari Syekh-gurunya, dan dia tidak bisa mengambil manfaat dari guru pertama maupun dari guru ke dua).”
Hal yang sangat prinsip dalam Wahidiyah
Dalam Jami’ul-Usul, hal 104 disebutkan:
Artinya : “Sesungguhnya mereka terhalang atau gagal dalam perjalanan wushul kepada Alloh, itu disebabkan mereka meninggal kan hal-hal yang pokok /prinsip).”
Termasuk hal yang sangat prinsip dalam Wahidiyah adalah terjalinnya hubungan batin antara Pengamal Wahidiyah dengan Muallif Sholawat Wahidiyah. Jadi barang siapa terganggu hubungan batinnya dengan Muallif Qs, maka tertutuplah jalan wushul kepada Alloh wa Rosuulihi SAW, tertutup pintu nadhzroh dan tarbiyahnya, meskipun ia masih mengamalkan Sholawat Wahidiyah, masih bermujahadah, masih ikut berjuang secara lahiriyah. Ini adalah masalah bathin !
Dalam Jami’ul Ushul, hal. 104, Syeh Qusyairi berkata:
Artinya : “(Buruk sekali bagi seorang murid ber-intisab (bergabung/loyal) kepada orang yang tidak membidangi ten tang jalannya wushul. Karena manusia itu ada yang ahli Qur-an ada yang ahli hadlts dan ada pula yang ahli ‘aqli (intelek). Sedangkan para pembimbing wushul (termasuk Beliau Muallif Sholawat Wahidiyah) menguasai segala ilmu-ilmu tersebut. Dan sesuatu yang samar (ghoib) bagi umumnya manusia, bagi para Pembimbing wushul, tetap lelas Dan pengetahuan yang dituju/dlgah oleh umumnya manusia, para pembimbing wushul sudah mem-perolehnya dari Alloh SWT. Sebab para beliau pembimbing wushul sudah sampai pada tujuan, sementara manusia lainnya masih mencari jalan).”
Anak dalam Bidang wushul
Dalam kitab Bahjatus Saniyah, hal. 43 Syekh Abdul wahab Asy-sya’roni berkata :
Artinya : “(Barang siapa yang tekun melakukan amalanku dan mematuhi peraturan-ku dengan menjaga diri, berzuhud, berwara’i, dan sedikit tama (dengan ihklas), dia itulah anakku, sekalipun dia berada di negeri yang jauh Dan barang siapa yang tidak demikian (tidak melakukan amalanku dan tidak mematuhi peraturan-ku), mereka bukan anak-anakku, meskipun dia dari keturunanku sendiri).”
Dalam kitab Hadiiqutim-Nadiyyah, hal. 242 dikatakan:
Artinya : “Sudah dimaklumi (secara syar’i) sesungguhnya para Waliyulloh itu tetap hidup dalam alam kuburnya, dan sesungguhnya ia hanya pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain Maka menghormatinya setelah wafat haru seperti menghormatinya ketika masih hidup, dan beradab kepadanya setelah wafat harus seperti beradab kepadanya ketika masih hidup dan pada waktu mati Dan diantara Waliyulloh itu ada yang memberi manfaat kepada muridnya yang sungguh-sungguh (konsekwen) setelai wafatnya lebih banyak dari pada manfaa yang diberikannya ketika masih hidup”
Dalam kitab Bahjatus Saniyah, hal. 32 disebutkan;
Artinya : “Dan apabila Syekh (guru) seseorang telah meninggal dunia dan dia tidak menemukan (guru) melainkan orang yang derajatnya di bawah Syekhnya, dengan terbukti dia belum mencukupi untuk membimbing perjalanan wushul, maka sayogjanya janganlah berpindah dari Syehnya (yang telah meninggal dunia itu) kepada yang baru ditemuinya”